PERANG DI SURABAYA: MODAL MENUJU 100% MERDEKA


Oleh: Salman Ahmad Ridwan

Di Indonesia, setiap tanggal 10 November selalu diperingati sebagai hari pahlawan. Penetapan hari pahlawan yang bertepatan pada tanggal 10 November ini, telah diangkat oleh pemerintah republik Indonesia dengan mengambil latar belakang historis sebuah peristiwa peperangan heroik, yang dilakukan oleh arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya.

Perang yang terjadi di Surabaya pada tahun 1945 adalah salah satu peperangan yang tidak dapat dihilangkan dalam bingkai sejarah ke-Indonesia-an, dikarenakan perang tersebut merupakan perang yang bisa dikatakan sebagai perang maha dasyat antara bangsa Indonesia oleh arek-arek Surabaya melawan tentara NICA yang pada saat itu telah diboncengi Belanda.

Tak hanya telah diakui oleh bangsa Indonesia, ke-maha-dasyat-an perang Surabaya pada tanggal 10 November 1945 ini pun telah diakui oleh pihak Inggris, yang dimana dalam pengakuannya Inggris telah menyatakan bahwa perang 10 November 1945 di Surabaya merupakan perang terbesar yang dialami oleh Inggris pasca Perang Dunia ke-II.

Salah satu latar belakang yang menyebabkan meledaknya perang di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 ini adalah akibat terbunuhnya pimpinan tentara Inggris untuk wilayah Jawa timur, yang bernama Jendral Mallaby oleh milisi Indonesia di dalam mobil Buick yang ditumpanginya. Dengan terbunuhnya pimpinan tentaranya ini, pihak Inggris pun kemudian menyikapinya dengan kemarahan yang begitu besar kepada bangsa Indonesia, karena tidak dapat menerima secara rela atas kematian Jendral Mallaby.

Karena terbunuhnya Jenderal Mallaby inilah kemudian pihak Inggris pun memberikan ultimatum dan meminta kepada bangsa Indonesia untuk menyerahkan persenjataan serta menghentikan perlawanannya kepada pihak Inggris. Lewat ultimatum ini pula, kemudian pada tanggal 10 November 1945, tepatnya waktu subuh dini pihak Inggris telah melakukan sebuah aksi yang disebut oleh Ricklef dengan istilah “pembersihan berdarah” di seluruh sudut kota Surabaya.

Melihat adanya sikap arogan yang dilakukan oleh pihak Inggris ini, warga kota Surabaya pun tidak menyikapinya dengan cara yang patuh dan diam atau bahkan menerimanya begitu saja. Melalui segala kekuatan yang ada, ribuan warga kota Surabaya pun telah menggalang kekuatan pertahanan rakyat untuk melawan tentara Inggris. Peperangan pun berlangsung dalam kurun waktu tiga minggu. Akibat dari peperangan itu pula, kurang-lebih 6000 rakyat Indonesia telah gugur dan ribuan warganya telah meninggalkan kota.

Hingga hari ini, pertempuran besar yang berlangsung di Surabaya tersebut telah diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari pahlawan nasional. Peringatan ini secara umum diangkat atas dasar sikap heroik bangsa Indonesia yang dilakukan oleh semangat arek-arek Surabaya agar dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai mana yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, tiga bulan sebelum peristiwa perang 10 November di Surabaya berlangsung.

Pandangan Sjahrir dan Tan Malaka Tentang Perang Surabaya

Sebelum pemerintahan Republik Indonesia mengangkat peristiwa Perang 10 November di Surabaya sebagai simbol peringatan Hari Pahlawan, dua tokoh pergerakan nasional yaitu, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka telah memberikan sebuah pandangan dan kesan yang berbeda ketika memandang peristiwa perang tersebut, yang dimana peristiwa tersebut telah dijadikan sebagai simbol untuk memperingati hari pahlawan nasional.

Melalui bukletnya berjudul “Perjoengan Kita”, Sjahrir mengajak kepada seluruh pemuda Indonesia pada saat itu untuk bertindak dengan seluruh tanggung jawab sekaligus berjuang dengan segenap jiwa revolusionernya. Selain itu, dalam bukletnya Sjahrir pun menyerukan kepada pemuda Indonesia untuk bersikap menghindari kekerasan anti asing dan anti indo, serta mengerahkan kekuatan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. Sehingga, dalam pandangannya mengenai Perang 10 November yang terjadi di Surabaya, bagi Sjahrir hal itu sangatlah disayangkan. Karena dalam pandangan politiknya, Sjahrir tidak menyepakati bahkan sangat mencela suatu perjuangan politik yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Pandangan Sjahrir mengenai idenya tentang revolusi demokratis, serta ketidak sepakatannya atas perjuangan politik yang dilaksanakan melalui cara-cara kekerasan, dikarenakan dirinya sangat mencemaskan akan nilai-nilai fasisme Jepang yang masih melekat dan tertanam dalam jiwa pemuda Indonesia untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya, Sjahrir dalam hal ini lebih mengutamakan revolusi demokrasi ketimbang revolusi nasional. Sehingga dalam pandangannya, untuk mewujudkan sebuah revolusi demokrasi, Sjahrir meyakini bahwa bangsa Indonesia harus memulainya dengan membersihkan diri dari noda-noda fasisme Jepang yang dimana dalam keyakinan Sjahrir bahwa segala macam yang berhubungan dengan fasisme selalu membolehkan cara untuk melakukan peperangan.

Bagi Sjahrir, kekalahan Jepang oleh sekutu sebenarnya telah memberikan sebuah peluang yang baik bagi pemerintahan Indonesia dalam mewujudkan kekuasaan negara yang baru merdeka. Oleh karenanya, kedatangan Amerika dan Inggris pada saat itu telah dinilai oleh Sjahrir sebagai sebuah upaya untuk menggantikan Jepang, sehingga harus dimanfaatkan dengan cara-cara yang lebih diplomatis, bukan dengan jalan peperangan.

Bagi Sajahrir, adalah langkah yang sangat tidak bijaksana jika bangsa Indonesia memusuhi kedatangan Amerika dan Inggris. Karena nasib Indonesia yang baru merdeka pada saat itu dinilai oleh Sjahrir haruslah dapat menyesuaikan diri dengan dunia internasional agar diakui kemerdekaannya. Melalui jalur diplomasilah semestinya jalan satu-satunya yang perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia agar kemerdekaan Indonesia itu tetap terjamin, sehingga pihak Amerika dan Inggris yang telah datang ke Indonesia tidak memberikan dukungannya kepada Belanda.

Menanggapi pandangan Sjahrir yang ditulis lewat bukletnya “Perjoengan Kita”, Tan Malaka pun menanggapinya dengan pandangan yang berbeda mengenai perang Surabaya dari Sjahrir. Bagi Tan Malaka, apa yang dilakukan oleh para pemuda di Surabaya dalam rangka melawan tentara sekutu adalah salah satu modal perjuangan menuju 100% merdeka. Tan Malaka meyakini, bahwa kemerdekaan yang telah diproklamasikan sejatinya adalah kemerdekaan yang tidak perlu lagi untuk dirundingkan. Karena kemerdekaan yang diproklamasikan itu adalah 100% milik bangsa Indonesia.

Setelah beberapa minggu Sjahrir menerbitkan bukletnya yang berjudul “Perjoengan Kita”, Tan Malaka pun menulis sebuah brosur dengan mengankat judul “Moeslihat”. Di dalam brosur tersebut, Tan Malaka menyarankan agar bangsa Indonesia membentuk sebuah front rakyat, yang dimana melalui idenya mengenai front perjuangan rakyat tersebut, Tan Malaka mengajak masyarakat Indonesia untuk fokus pada tiga sektor, yaitu sektor militer, politik, dan ekonomi. Lewat pembentukan front inilah, Tan Malaka memiliki maksud yang dimana di dalam idenya agar bangsa Indonesia memiliki kekuatan organisatoris, sehingga dapat dikerahkan dalam rangka memenangkan segala macam medan pertempuran.

Tan Malaka tidak setuju dengan ide Sjahrir yang menganjurkan adanya diplomasi dalam sebuah kemerdekaan. Bagi Tan Malaka, perang Surabaya adalah penandaan sinyal kuat akan tercapainya suatu perjuangan mencapai revolusi secara total. Oleh karenannya, bagi Tan Malaka, adanya suatu pertempuran dalam mencapai kemerdekaan secara total, jika hal itu memang harus dilakukan dengan cara pengorganisasian yang kuat di dalamnya, serta dengan segala macam strategi-strategi yang ada di dalamnya sangat diperlukan.

Membentuk sebuah front rakyat adalah salah satu alternatif yang digagas oleh Tan Malaka dalam rangka bertempur untuk melawan segala macam penjajahan. Berbeda dengan ide Sjahrir yang menyarankan jalan politik melalui cara diplomatis, serta menerima keberadaan sekutu yang telah diboncengi oleh Belanda, apalagi sampai membuka dan menerima kedatangan mereka ke Indonesia yang pada saat itu baru saja memproklamasikan dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka.

Dengan adanya dua sudut pandang yang berbeda diantara sudut pandang Syahrir dan Tan Malaka dalam melihat Perang 10 November Surabaya tersebut, tentu hal itu tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh pemikiran dan gagasannya mereka dalam memandang perjuangan politik bangsa Indonesia prihal mencapai sebuah kemerdekaan yang pada saat itu baru saja diproklamasikan.

Dari Sjahrir, kita dapat melihat bahwa cara-cara kekerasan yang dilakukan dalam perjuangan politik pada masa itu merupakan sebuah keterpengaruhan bangsa Indonesia yang dianggap belum bisa lepas dari nilai-nilai fasisme Jepang. Sjahrir lebih mengutamakan revolusi demokrasi, dan jalur diplomatis adalah langkah utama untuk mecapai perjuangan tersebut.

Padangan Sjahrir atas ketidak sepakatannya mengambil perjuangan dengan cara-cara peperangan dalam memperjuangkan jalur politik sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran ideologi sisoal-demokrat yang ia pelajarinya saat ia belajar di Belanda, yang dimana dalam pandangan ideologi tersebut secara prinsipil sangat menolak peperangan. Oleh karena itu, sangat jelas disini kita dapat pahami bahwa pandangan Sjahrir mengenai Perang 10 November di Surabaya itu adalah sebuah langkah yang tidak tepat untuk mencapai kemerdekaan, bahkan cenderung mencelanya.

Namun berbeda dengan Sjahrir, dari Tan Malaka kita dapat melihat bahwa perjuangan politik melalui jalur diplomatis bukanlah sebuah langkah untuk mencapai kemerdekaan. Tan Malaka lebih mengutamakan kekuatan gerakan massa dalam mecapai kemerdekaan melalui jalur revolusi. Bagi Tan Malaka, dengan cara menggerakan massa pada jalur revolusi untuk mencapai kemerdekaan secara total (100%) adalah sebuah upaya untuk melibatkan seluruh elemen rakyat di Indonesia agar seluruh rakyat Indonesia dapat tersentuh untuk ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekaannya.

Memang, jika kita melihatnya dengan semangat zaman yang berkembang pada saat itu, perjuangan politik melalui jalur diplomatis merupakan langkah yang cenderung elitis, yang dimana hal itu tidak dapat menyentuh jiwa rakyat Indonesia. Oleh karenanya, dalam memandang peristiwa Perang 10 November yang terjadi di Surabaya, yang dimana seluruh elemen masyarakat ikut bertempur walau hanya memegang persenjataan yang sederhana, bagi Tan Malaka hal itu tentunya sebagai sebuah modal utama rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaanya, yaitu bebas dari segala macam bentuk belenggu penjajahan.

Melalui dua sudut pandangan dari dua tokoh pergerakan nasional yang berbeda tersebut, kita pun dapat melihat bahwa sebuah peristiwa penting tidaklah selalu harus dilihat dari satu sudut pandang semata. Apalagi jika peristiwa tersebut telah dijadikan sebagai simbol untuk memperingati sebuah momentum yang memiliki makna khusus pada sebuah meomentum seperti halnya saat peringatan hari pahlawan di negeri ini.

Kita mungkin tidak akan tahu, seandainya saja jika pada saat itu Sjahrir telah menjadi pemimpin revolusi kemerdekaan (Presiden), simbolisasi pemaknaan akan hari pahlawan nasiponal tentu tidak akan mungkin diambil dari peristiwa perang 10 November yang terjadi di Surabaya. Mungkin saja Sjahrir akan mengambilnya melalui peristiwa-peristiwa yang menggambarkan jalur diplomatis, seperti Konverensi Meja Bundar, Perjanjian Renville, atau bahkan Perjanjian Linggar Jati.

Akan tetapi, dengan mengangkat hari pahlawan nasional melalui simbol pertempuran yang dilakukan oleh arek-arek Surabaya pada 10 November 1945 dalam melawan tentara sekutu, tentu sejatinya kita pun harus memaknainya sebagaimana Tan Malaka memandang peritiwa tersebut, yang dimana dalam pandangan Tan Malaka bahwa peritiwa Perang Surabaya merupakan sebuah modal perjuangan rakyat yang gigih dan tulus untuk mecapai sebuah kemerdekaan secara total, yaitu merdeka secara 100%!

Saat ini, untuk memaknai peristiwa Perang Surabaya sebagai sebuah upaya untuk mencapai merdeka secara 100% itu sangat samar sekali untuk dipahami. Mengingat dalam memperingati peristiwa tersebut kita hanya sekedar memahaminya sebagai sebuah momentum semata. Jangan-jangan dalam memaknai perjuangan arek-arek Surabaya atas perjuangannya itu kita hanya sebatas memahaminya secara simbolis saja, seperti dirayakan hanya sekedar merayakannya saja, lewat sebuah pelaksanaan upacara bendera, atau bahkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya, dan setelah itu semuanya pun kemudian kembali menjadi hampa.

Dalam memperingati hari pahlawan yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Novemeber, saat ini kita sangat membutuhkan perenungan yang begitu dalam untuk memahami kembali pemaknaan Perang Surabaya sebagai simbol perjuangan menuju kemerdekaan secara 100%. Bagi masyarakat kita saat ini, jangan pun memaknai sebuah perjuangan kemerdekaan secara total untuk mencapai merdeka 100%, berusaha untuk membaca sejarah bangsanya sendiri pun sangat jauh dari keinginannya. Dan memang seperti itulah gambaran masyarakat kita yang ada saat ini, masyarakat yang sangat malas untuk membaca sejarah bangsanya sendiri.

Lalu untuk apa sampai saat ini kita masih saja memperingati tanggal 10 November sebagai hari pahlawan? Jika toh pada saat momentum peringatannya hanya sekedar dimaknai secara simbolik semata. Jangan-jangan upaya untuk menuju kemerdekaan secara 100% itu pun sangat jauh dari isi tempurung kepalanya.





 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENULIS: MENGURAIKAN KATA SEBAGAI SENJATA

13 NOVEMBER, INGATLAH TRAGEDI SEMANGGI!!!

REFLEKSI ULANG TAHUN IBU