13 NOVEMBER, INGATLAH TRAGEDI SEMANGGI!!!
Oleh:
Salman Ahmad Ridwan
Seperti apa rasanya
jika tubuh kita tertembus oleh peluru tajam? Seperti apa pula, jika seandainya
sanak saudara kita telah mati akibat ditembus oleh peluru tajam? Hanyalah orang
yang mati rasa jika dirinya hanya menjawab, bahwa tubuh yang tertembus oleh
peluru tajam itu tidak terasa apa-apa. Begitu juga, hanya orang yang kehilangan
rasa kemanusiaannyalah, jika orang tersebut tidak memiliki rasa kepedulian
sedikit pun ketika atau di saat sanak saudaranya telah tewas tertembak oleh
peluru tajam.
Di Indonesia, lebih tepatnya di Jakarta, pada tanggal 11-13 November 1998, pernah terjadi sebuah peristiwa
yang sangat mengerikan, yang dimana pada peristiwa tersebut telah kita kenal dengan
istilah Tragedi Semanggi. Sebuah peristiwa yang kelam tentunya bagi catatan
sejarah republik ini. Karena di dalamnya, telah tertulis sebuah narasi yang
menggambarkan akan hilangnya wujud kemanusiaan dari wajah aparatus republik ini
terhadap warga negaranya sendiri, terhadap anak bangsanya sendiri.
Tragedi Semanggi adalah
sebuah tragedi yang berlumur darah. Dan darah itu adalah darah yang berasal
dari dalam tubuh anak-anak bangsanya sendiri. Darah anak-anak bangsa yang
tengah berjuang, darah anak-anak bangsa yang melawan, dan darah anak-anak
bangsa yang melakukan protes, karena kehilangan rasa kepercayaannya terhadap
pemerintahan BJ. Habibie yang pada saat itu melaksanakan sebuah agenda Sidang
Istimewa MPR di Jakarta.
Melalui dalih untuk
menjaga kemanan dan ketertiban nasional, pemerintahan republik ini pun
menanggapinya dengan cara tindakan yang represif lewat aparatus militernya.
Mereka menembaki para demonstran yang tergabung antara mahasiswa dan
masyarakat. Jalanan Jakarta pun telah dibanjiri oleh darah. Dan khususnya, Jalan
Semanggi pun telah menjadi saksi sejarah atas banyaknya luka yang menimpa tubuh
para demonstran. Namun itu tentunya tidak hanya luka yang menimpa tubuh-tubuh
para demonstran, beberapa nyawa pun telah hilang akibat peluru tajam yang
disarangkan pada tubuh para demonstran saat itu yang melawan. Berdasarkan beberapa data, korban yang meninggal dari Tragedi Semanggi menyebutkan bahwa ada tujuh belas orang yang meninggal karena ditembak
aparat.
Secara kronologis, pada
bulan November 1998 pemerintah Indonesia yang tengah berada dibawah
kepemimpinan BJ. Habibie mengadakan sebuah Sidang Istimewa dalam rangka
menentukan Pemilu dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan
dilaksanakan. Akan tetapi, di balik pelaksanaan Sidang Istemewa tersebut,
pergolakan di dalam tubuh mahasiswa pun bergejolak, para mahasiswa telah
menyatakan sikapnya bahwa mereka tidak percaya pada pemerintahan BJ. Habibie dan
para anggota DPR/MPR yang masih terikat dengan kekuasaan Orde Baru, serta menuntut
agar militer menyingkirkan diri dari politik.
Apa yang dilakukan oleh
mahasiswa dan masyarakat dalam melakukan protesnya terhadap penyelenggaraan
Sidang Istimewa pada bulan November 1998 tidak lain adalah sebuah keinginan, agar
setelah mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, pemerintahan
Indonesia ini dapat terbersihkan dari orang-orang yang masih terikat dari Orde
Baru. Karena, dengan cara membersihkan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru
di dalam pemerintahan, semangat yang ada di dalam tuntutan reformasi akan segera
terwujud.
Beralihnya tampuk
kekuasaan presiden dari Soeharto ke BJ Habibie, serta masih banyaknya orang-orang
yang masih memiliki kedekatan dengan Soeharto di parlemen, telah dinilai oleh mahasiswa
sebagai cara Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaanya. Maka munculah ketidak
percayaan mahasiswa dan masyarakat kepada pemerintahan BJ. Habibie. Dengan cara
memobilisir kekuataan massa: mahasiswa dan masyarakat bersatu, menjadi kekuatan
rakyat. Menyampaikan suara protes atas ketidak percayaannya terhadap pemerintahan,
dan menolak pelaksanaan Sidang Istimewa.
Melihat adanya kekuatan
rakyat yang tengah melakukan protes untuk menolak dilaksanakannya Sidang
Istimewa, dari pihak pemerintahan langsung menyikapi gelombang aksi massa yang
membanjiri jalanan Jakarta. Dalam anggapannya, gerakan massa yang melakukan
protes terhadap pemerintahan pada waktu itu dinilai tengah mengancam keamanan dan
ketertiban nasional. Atas dasar adanya anggapan seperti itulah, ABRI yang
tergabung dari tentara dan kepolisian langsung mengerahkan pasukannya, dengan
perlengkapan senjata yang lengkap, berupaya membendung gerakan massa yang
sedang melangsungkan aksi protes di jalanan, hingga terjadi bentrokan.
Dari adanya bentrokan yang
terjadi diantara massa aksi dan aparat, dari pihak aparat pun tidak segan untuk
mengarahkan moncong senjatanya pada gelombang massa, peluru tajam pun dihempaskan, menembaki massa aksi dengan cara
yang membabi buta, mengenai beberapa orang yang berada dalam barisan massa. Akibat
dari adanya penembakan ini pula, beberapa mahasiswa pun telah tertembak dan seketika
meninggal di jalanan. Dari beberapa mahasiswa yang tertembak oleh peluru tajam
aparat, adalah Teddy Wardhani Kusuma, seorang mahasiswa dari Institut Teknologi
Indonesia yang menjadi korban pertama dari kejadian penembakan itu.
Penembakan yang
dilakukan oleh aparat pada saat itu pun telah membuat mahasiswa berlarian ke
dalam kampus Atma Jaya, hal ini dilakukan karena mahasiswa mencari tempat perlindungan
dari adanya penembakan tersebut. Namun ternyata penembakan itu pun tidak
berhenti begitu saja, penembakan oleh aparat ke arah kampus Atma Jaya terus
dilakukan, hingga menewaskan seorang mahasiswa bernama Wawan, seorang mahasiswa
Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta. Wawan tertembak pada bagian dadanya, di pelataran
parkir kampus Atma Jaya, saat dirinya sedang menolong rekannya yang terluka di
pelataran parkir kampus Atma Jaya.
Penembakan yang
dilakukan oleh aparatus negara terhadap massa aksi pun berjalan dalam waktu
yang cukup lama. Berdasarkan beberapa laporan, penembakan dimulai sejak pukul
15.00 hingga sekitar pukul 02.00 WIB pagi dini hari. Penembakan tersebut dilakukan
disekitar kawasan Semanggi ke arah kampus Atma Jaya. Dari penembakan itu pula
korban pun semakin berjatuhan. Ada beberapa massa yang meninggal dunia dan aja
juga banyak dari aksi massa yang terluka. Diantara beberapa mahasiswa yang
meninggal adalah Sigit Prasetyo, mahasiswa dari YAI. Heru Sudibyo, Mahasiswa
Universitas Terbuka. Engkus Kusnadi, mahasiswa Universitas Jakarta. Muzamil
Joko, mahasiswa Universitas Indonesia. Dan juga beberapa mahasiswa lainnya.
Apa yang dilakukan oleh
pihak militer atas tindakannya yang melakukan penembakan terhadap beberapa
mahasiswa di kawasan Semanggi itu tentu saja dapat kita lihat sebagai sebuah
bentuk tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh negara melalui apa yang
disebut oleh Louis Althuser dengan istilah Revressive
State Apparatus, karena merasa pihaknya yang memiliki kuasa represif dengan
tegas bahkan mmebolehkan dengan cara-cara yang keras pada setiap warga
negaranya.
Jika kita meminjam sudut pandang Althuser tentang Revressive State Apparatus dalam membaca tragedi Semanggi, kita dapat memaknainya bahwa dari pihak militer merasa pihaknya telah memposisikan dirinya sebagai pemilik kekuasaan represif. Sehingga pihaknya merasa membolehkan dirinya untuk melakukan segala macam bentuk tindak kekerasan pada setiap warga negaranya. Dalihnya tentu sangat sederhana, atas nama untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Padahal, gerakan massa yang melakukan protes atas pelaksanaan Sidang Istimewa pada November 1998 sebenarnya saat itu berdasarkan atas adanya rasa ketidak percayaan mahasiswa dan masyarakat terhadap pemerintahan BJ. Habibie dan orang-orang di lembaga pemerintahan yang masih terikat dengan Orde Baru.
Jika seandainya memang
benar, bahwa apa yang dilakukan oleh pihak militer dalam menyikapi aksi massa
pada saat itu harus selalu disikapi dengan cara tindak kekerasan karena hal itu
telah dianggap mengancam keamanan dan ketertiban nasional, Pertanyaannya
adalah: Apakah sikap ketidak percayaan pada masyarakat terhadap sebuah bentuk pemerintahan
itu selalu merupakan sebuah bentuk yang dapat mengancam keamanan negara? Dan jika
memang seandainya hal itu benar seperti apa yang dianggap oleh militer bahwa
itu adalah sebuah ancaman, ancaman yang seperti apa? Apakah menyuarakan suara dengan
lantang melalui kata-kata di jalanan adalah sebuah bentuk ancaman?
Atas terjadinya peristiwa
Tragedi Semanggi, kita dapat melihat bahwa, sejarah tidak selamanya semata-mata
selalu mengisahkan tentang suatu peristiwa yang menandakan adanya sifat kepahlawanan.
Sejarah Tragedi Semanggi yang terjadi pada bulan November 1998 adalah salah
satu narasi dari peritiwa sejarah di negeri yang begitu sangat mengerikan. Kengerian
ini terutama sangat berasa bagi orang-orang yang selalu merindukan akan adanya situasi
dan kondisi kehidupan yang bebas dalam mengungkapkan berbagai macam pendapatnya
terhadap sebuah sistem pemerintahan.
Dari tajamnya peluru
yang mereka sarangkan pada tubuh anak-anak bangsanya yang berjuang dan melawan hingga
mencapai sebuah kebebasan seharusnya menjadi sebuah katalisator untuk kita
semua dalam melanjutkan perjuangan mereka, hingga terejawantahkan dalam
wujudnya yang total. Bukan dengan drama-drama komedi politik seperti yang
dilakukan oleh para elit politik di negeri kita saat ini, walau pun sebenarnya ada
diantara mereka yang katanya pada saat itu telah ikut berpartisipasi dalam
momentum perjuangan reformasi. Mungkin dari semua elit politik kita saat ini tidak
pernah merasakan seperti apa rasanya tubuh itu jika ditembusi oleh peluru tajam,
atau merasakan kehilangan sanak saudaranya yang telah mati akibat serangan
peluru tajam.
Dan hari ini, tentu kita harus mengingat, bahwa tepat pada tanggal 13 November pada tahun 1998, di Jakarta, tepatnya di kawasan
Semanggi, pernah terjadi sebuah tragedi yang telah dilakukan oleh negara melalui tangan aparatusnya, hingga menelan beberapa korban nyawa dari anak bangsanya
sendiri.
Komentar
Posting Komentar