REFLEKSI ULANG TAHUN IBU


Oleh: Salman Ahmad Ridwan

“Tululit, tululit… tululit.. tululit…” bunyi alarm dengan segala ritme dan getar pada handphone milik saya telah menampilkan sebuah pemberitahuan, bahwa hari ini, tanggal 10 November, adalah hari ulang tahun Ibu saya. Tak lama alarm itu pun saya matikan, saya pun kemudian bertanya-tanya dalam diri, apa sekiranya ucapan yang pantas untuk disampaikan pada hari lahir ibu saya ini? Dengan lagak yang rada begitu “sok ke-oke-oke-an”, sambil tangan memijit dagu secara perlahan, layaknya seorang cerdik cendikia yang sedang memikirkan tentang sebuah negara, saya pun terus bertanya-bertanya, “apa ya kira-kira…?”

Namun terlepas dari segala perasaan gundah gulana dan kegalauan yang begitu akut pada diri saya, karena khawatir salah ucap dan kurang oke untuk menuturkan kata-kata yang akan saya ketik melalui pesan watsapp, pada akhirnya saya pun hanya menuliskan ucapan selamat dengan kalimat yang sangat sederhana. Beginilah pesan pendek yang saya tulis lewat aplikasi watsapp: “Salam… Ibu… selamat ulang tahun ya. Semoga sehat selalu dan tetap cantik tentunya".

“Lho kok, simple amat?” Mungkin banyak yang bertanya seperti itu. Ya, memang pesan yang saya kirim itu sengaja saya tulis secara singkat dan sederhana. Selain kebingungan untuk merangkai kalimat yang indah layaknya kalimat yang ditulis oleh para pujangga, pesan singkat itu sengaja saya tulis karena saya memiliki niat dari lubuk hati yang paling dalam untuk membuat sebuah catatan tulisan yang sangat khusus untuk ibu saya.

Mengapa? Secara pribadi memang saya tidak pernah menulis sebuah catatan khusus pada seseorang yang paling berjasa dalam hidup saya ini. Walau pun saya sempat membuat catatan khusus tentang seseorang, itu pun saya dilakukan dalam membuat sebuah biografi singkat untuk beberapa tokoh sejarah yang memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah manusia. Oleh karena itu, dalam catatan ini saya pun sengaja secara khusus membuat sebuah tulisan yang ditujukan untuk ibu saya. Harapan lainnya, semoga tulisan ini dapat memberi makna yang begitu sangat spesial bagi ibu saya atau pun saya pribadi.

Kesulitan Menerjemahkan Makna Seorang Ibu Lewat Sebuah Metafora

Bagi saya, untuk menerjemahkan makna seorang ibu adalah sesuatu hal yang sangat sulit. Mungkin bisa saja maknanya itu sangat luas sampai tak terhingga. 

Seorang ibu, tentu tidak cukup jika diartikan melalui berbagai macam majas atau perumpaan yang di dalamnya mengandung “sihir” metafora secara khusus. Dalam bermain metafora, kita menjumpai banyak kalimat yang mengkiaskan kata ibu, seperti: “ibu layaknya setangkai mawar”, “ibu bagaikan rumah”, “seperti matahari ibu adalah…”, dan segala macam kalimat tetek-bengek lainnya yang seolah dikemas lewat kiasan-kiasan indah.

Dalam hal ini, tidak-kah saja kita cukup untuk mengartikan kata Ibu itu sebagaiamana yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebagaimana yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ibu ibu diartikan sebagai seorang perempuan yang telah melahirkan anak. Ibu adalah sosok seseorang perempuan yang mimiliki relasi secara biologis maupun sosial dengan seorang anak. Karena ia memiliki sebuah relasi dengan anaknya, maka dari sini perlu simpulkan bahwa ada semacam hukum timbal balik yang harus ditanggapi oleh anaknya, yaitu: seorang anak harus menyayangi ibunya. Hubungan timbal balik ini bersifat relasi yang resiprokal diantara si ibu dan si anak atau pun si anak dengan si ibu. Jadi, sederhananya seperti itu kira-kira.

Memang hubungan resiprokal ini tidak tertulis secara konstitusional seperti hal nya yang ada di dalam kitab UUD sebuah negara atau bahkan kitab ajaran moral lainnya. Namun dalam hubungan ini dapat dikatakan sebagai suatu hukum yang tentunya sudah ada tertanam secara alamiah dan terikat dengan sangat lekat diantara keduanya, sehingga hal itu sangat sulit untuk dapat dilepaskan baik itu secara emosional, genetikal, darah, bahkan batin (intuisi). Atau dapat dikatakan, bahwa dalam hubungan ini memiliki unsur (meminjam istilah Immanuel Kant) sebagai sebuah Das Ding An Sich. Yaitu suatu forma ruang waktu yang sudah ada pada subjek (Aku).

Karena secara natural hubungan itu ada, maka relasi itu pun akan selalu mendorong si anak untuk selalu ada bagi ibunya, baik dalam keadaan apa pun atau dalam masalah apa pun. Relasi ini adalah suatu gerak (respon) si anak untuk ibunya. Jadi pada umumnya, hal itu tak perlu menunggu terlebih dahulu lewat suatu perintah yang ada dalam kitab UUD atau kitab-kitab ajaran moral lainnya. Dorongan intuisilah yang mengikat hubungan resiprokal diantara keduanya.

Walau terkadang kita pernah menjumpai adanya suatu kasus mengenai seorang anak yang bersikap durhaka kepada ibunya, sebagaimana yang kita ketahui dalam cerita legenda Malin Kundang, kasus seperti itu dapat kita katakan sebagai suatu gambaran tentang seseorang manusia yang telah mengalami keterputusan diantara relasi yang bersifat resiprokal antara seorang anak dengan seorang ibunya. Kasus seperti cerita Malin Kundang adalah gambaran seseorang anak yang telah mengalami kekosongan nilai di dalam dirinya sehingga sesuatu hal “yang lain” yang mempengaruhi alam bawah sadarnya, entah apakah itu motifnya, namun gambaran Malin Kundang motif adanya gengsi sangat menonjol dari karakteristik di dalam ceritanya.

Hubugan resiprokal diantara seorang anak untuk “menyayangi” seorang ibunya adalah sesuatu yang bersifat transenden. Relasi itu melampaui segala macam batas kesadaran dan ketidaksadaran diantara Subjek (Aku). Hubungan ini saling mempengaruhi diantara keduanya entah itu ketika sedang memikirkannya atau ketika sedang tidak memikirkannya. Keduanya merupakan suatu adanya keragaman di dalam sifat seseorang, karena bagaiama pun juga di dalam diri seseorang selalu ada pertentangan negasi opisisi binner seperti “yang baik” dan “yang buruk”. Namun dengan segala otonomi yang dimiliki oleh seseorang, setiap orang tentu dapat menentkan pilihannya untuk memilih selama pilihannya tidak merugikan “yang lain”, yang berada di luar dirinya.

Menerjemahkan makna ibu sebagai seorang perempuan yang telah melahirkan kita sebagai anak tentu merupakan sesuatu yang cukup untuk diperdalam lagi mengenai pemaknaannya. Selain karena secara pribadi saya tidak mahir dalam membuat sebuah metafora yang indah dalam sebuah kalimat, kesulitan lain pun dikhawatirkan akan menyempitkan makna “yang lain” dalam kata seorang ibu. Karena dalam memaknai kata seorang ibu itu tidak selalu memiliki makna yang tunggal. Mungkin bagi orang lain seorang ibu bisa dimetaforakan sebagai sebuah rumah, bunga mawar, atau bahkan matahari, mnamun bagi saya hal itu tidaklah cukup, makna seorang ibu memiliki kedalaman dan keluasan yang sulit untuk diberi pembatasan.  

Jika seorang ibu hanya dibatasi pada suatu kiasan, pemaknaan itu dikhawatirkan malah nantinya akan hilang bagi dirinya sebagai manusia yang eksis (dalam sudut pandang filsafat eksistensialisme). Seorang ibu tentu bukanlah sebuah rumah, begitu juga bukan tentang mawar, atau bahkan bukan juga sebagai matahari yang dimana semua itu hanya sebatas bentuk material yang tidak eksis. Seorang ibu adalah subjek yang eksis. Dengan meminjam pemikiran Jean Paul Satre, seorang ibu subjek yang memiliki kesadaran “ada pada dirinya” (etre pour soi) dan memiliki kesadaran “ada dalam dirinya” (etre en soi). Kesadaran yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah kesadaran yang eksis, bukan sebagai objek material semata.

Saya, dengan secara pribadi, dimana adalah seorang anak yang dilahirkan dari rahim ibu saya, tentu dalam hal ini harus memahami bahwa saya adalah subjek yang lahir atas pilihan sadar dari diri ibu saya sendiri. Oleh karena itu, mau tidak mau, harus atau pun tidak harus, saya (begitu pun kita-kita semua) sangat penting untuk tetap menjaga hubungan resiprokal yang ada diantara keberadaaan Ibu dan anak. Entah itu dapat diejawantahkan dalam bentuk kasih sayang, cinta-kasih, dan kepedulian, sebagai bentuk manifesto hukum timbal balik untuk seorang ibu, karena bagimana pun juga betapa beratnya perjuangan seorang ibu dalam menjaga dan menyanyangi seorang anaknya.

Apapun permasalahnya, kembali lagi pada ucapan mengenai selamat ulang tahun yang sangat singkat, tentu dalam hal itu bukan berarti telah menandakan bahwa pemaknaan rasa sayang yang ada dan melekat pada diri kita itu sesingkat dan sesederhana sesuai ungkapannya yang dikirim melalui pesan watsaap. Namun karena dalam hal ini antara saya dan ibu saya berada pada posisi jarak yang jauh sehingga saya pikir hal itu tidak perlu untuk dikemas lewat pesan yang penuh metfora. Namun bukan berarti itu pun menjadi suatu penghambat untuk tetap melantunkan doa dan harapan yang begitu besar baginya.

Pada akhirnya, di dalam tulisan ini, dengan secara sengaja saya tidak ingin menjebak diri saya di dalam jeratan sebuah metafora yang penuh dengan segala macam tafsir-tafsirnya. Saya tak ingin dibuat mabuk kepayang oleh kata-kata indah seperti yang banyak dilakukan oleh para pujangga. bagi saya, sudah cukup dalam menerjemahkan sosok seorang ibu sebagaimana yang ada di dalam Kamus Bahasa. Seorang ibu bagi saya adalah sosok perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan saya dengan segala macam darah juangnya. Dan dalam memahami segala macam perjuangannya itu tidaklah sebagai mana sebuah kiasan. Perjuangan seorang ibu untuk seorang anaknya tentu tidak semudah ketika sedang membuat mie instant. Oleh karena itu, dengan membalasnya dengan rasa cinta, kasih, dan sayangnya perlu diejawantahkan walau sekecil-kecilnya sebuah usaha.

Sebelum saya mengkahiri tulisan ini, saya ingin mengucapkan sekali lagi "Selamat Ulang tahun untuk ibu saya. Kobarkan terus nafas, jiwa, dan semangat juangmu, serta jangan pernah malu dengan segala kehebatanmu.

Tidak luput juga saya harus berterimakasih pada alarm yang berbunyi di Handphone saya. Tanpanya (Handphone) saya tidak bisa apa-apa. Hehe..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENULIS: MENGURAIKAN KATA SEBAGAI SENJATA

13 NOVEMBER, INGATLAH TRAGEDI SEMANGGI!!!